Puncak Gunung Anak Krakatau |
Perjalanan terasa sangat panjang. Bukan
soal jauhnya jarak tempuh yang harus dilalui untuk mencapai salah satu bagian
wilayah Indonesia itu, tetapi waktu transit yang terasa begitu lambat. Cukup
melelahkan pastinya, tapi bagiku, pengalaman pertama menolongku untuk tetap
menjaga rasa ingin tahu akan kejutan-kejutan lain yang akan segera kami lewati.
Melakukan perjalanan di tengah malam
menuju subuh hari memang bukan perkara mudah. Hal itu mungkin terbilang logis
dan wajar bila Anda dipaksa harus merelakan waktu-waktu tidur untuk sesuatu
yang begitu urgent (penting, red),
misalnya menyangkut pekerjaan atau janji penting dengan keluarga atau rekan dan
banyak alasan penting lainnya. Tetapi bagaimana jika Anda melakukannya hanya sekedar
untuk liburan? Menyiksa dan tidak logis? Ya, mungkin. Begitulah yang kerap harus
dibayar oleh sebagian besar orang saat hendak menikmati masa liburannya. Ah,
ini hanya pemikiran sesaat saja yang sambil lalu ketika menyadari perjuangan liburan
ke Krakatau kemarin.
Masih kental dibenakku bagaimana kami harus
berlelah-lelah terlebih dahulu untuk, sebut saja, petualangan ini. Aku pikir ini
adalah sesuatu yang amat menyenangkan sekaligus melelahkan. Ya, menaiki kapal Ferry dari Pelabuhan Merak,
Jakarta menuju Pelabuhan Bakeuheni, Lampung yang tampak begitu gagah dan katakan
saja ‘besar
sekali’
seakan seperti mimpi bagiku. Sebab ini adalah kali pertama aku menaiki kapal besar
itu.
Mungkin dengan bentuk rangkuman di
bawah ini, Anda bisa merancang perjalanan serupa untuk merencanakan liburan menikmati
lautan sekitar Anak Krakatau.
Keberangkatan
Bertepatan dengan liburan hari
kemerdekaan 17 Agustus 2015 lalu, kami pun tidak menyia-nyiakan waktu liburan selama
dua hari penuh, yaitu 16-17 Agustus. Keberangkatan dimulai pada 16 Agustus 2015
dari Pelabuhan Merak menuju Pelabuhan Bakaeuheni. Akan memakan sekitar 3 jam perjalanan.
Untuk tiket perjalanannya bisa pesan atau jika menggunakan jasa biro perjalanan,
mereka akan mengurus segala sesuatunya.
Tiba
di Pelabuhan Bakaeuheni
Setiba di Pelabuhan Bakaeuheni,
perjalanan dilanjutkan ke Dermaga Canti dengan menggunakan angkutan umum atau
minibus berwarna kuning. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 1 jam, dan jangan
heran bila angkutan yang Anda gunakan akan melaju cukup kencang. Jadi tetaplah berpegangan
kencang!
Bersiap
Mengitari Pulau Krakatau
Dermaga Canti |
Dalam angkutan, sesekali aku melirik
jam yang melekat di tangan kiriku. ‘Ya,
sudah pukul 5.00 WIB,’ pikirku. Ya. Waktu perjalanan kami
memang sudah molor selama 1 jam lantaran menunggu kedatangan angkutan yang kami
tumpangi menuju Dermaga Canti. Waktu terbuang dan kami pun menunggu cukup lama.
Setiba di Dermaga, kami juga harus menghabiskan sekian banyak waktu untuk entah
apa, akibatnya rencana awal sedikit melenceng dari sebelumnya.
Dari dermaga, aku dan kesebelas teman lainnya
(kumpulan para lajang wanita ini) bersiap segera meluncur ke tempat yang
namanya Pulau Sabuku Kecil. Momentum liburan seperti ini memang cukup hectic dan tentunya banyak kapal yang sudah
di booking. Akibatnya, kami kehabisan
kapal motor bermesin yang terbilang jauh lebih cepat. Hanya ada satu pilihan, kapal
kayu milik nelayan.
Lama sudah aku merindukan suasana ombak
lautan, meski bukan penyuka laut. Rasanya ada penyambutan yang hangat dari hamparan
lautan hari itu, ya, sama seperti penyambutan hamparan Danau Toba setiap kali
aku berkunjung. Aku menyapa dengan lembut serta berharap lautan tetap ramah
selama kunjungan. “Hi, senang bersua denganmu,” ucapku dalam hati sembari merasakan hembusan
angin yang membawa aroma lautnya.
Pulau
Sabuku Kecil
Ombak memang tampak tidak begitu ramah
sepanjang hari itu. Namun perjalanan tetap terkendali. Perjalanan menuju Pulau Sabuku
Kecil dihabiskan selama dua jam. Lalu kami, kecuali aku dan mbak Angela, segera
menceburkan diri ke dalam air. Mereka tampak seperti penyelam profesional yang lengkap
mengenakan Mask Snorkel-nya
masing-masing. Indah sekali alam sekitarnya, pasirnya putih, diseberang kanan tampak
pulau kecil yang kelihatannya juga dijadikan sebagai tujuan snorkeling. Ya, suasana
pulau kecil itu seketika ramai dengan kedatangan kami puluhan pengunjung lainnya.
Sayang, mereka mengeluhkan air yang tampak keruh dan terumbukarang yang sudah menggundul.
Setelah lelah bergerak-gerak bagai ikan-ikan kecil bergerombol, satu per satu dari
teman-teman menaiki kapal. Lelah terpancar di wajah mereka, namun merasa tampak
puas.
Pulau
Sebesi
Kami pun bertolak menuju homestay (penginapan,
red) berupa rumah penduduk yang kami sewakan untuk beristirahat selama satu
malam dan dua hari ke depan. Matahari begitu teriknya, di dermaga Sebesi ombak
tak kalah kencangnya, padahal waktu ketibaan kami saat itu masih menunjukkan pukul
satu siang. Karena jarak dari dermaga menuju homestay terbilang jauh, kami pun diangkut
menggunakan mobil pickup. Pulau Sebesi
memang terasa begitu panas dan kering. Maklum, kata masyarakat di sana kondisinya
memang selalu demikian. Mungkin letaknya yang dekat dengan pantai juga sangat mempengaruhi.
Kampung ini memang unik, saat pertama kali tiba tak ada rumah penduduk yag
tidak ditumbuhi pohon mangga di pekarangan depannya. Buahnya lebat sekali
hingga menarik hasratku untuk mencicipi.
Setiba di sana, kami disambut dengan es
kelapa muda dan makan siang. Modelnya yang prasmanan membuat kami dan
rombongan lain mengantri satu per satu. Kami menikmati makan saing sembari ngerumpi, kebiasaan kaum hawa kalau sudah
ngumpul massal.
No comments
Post a Comment