Proses kelahiran kembali sejumlah tulisan adalah
proses dimana kita mengumpulkan kepingan-kepingan cerita yang terserak diwaktu
yang silam. Demikian disaat kita kembali mengingat kisah seorang fisafat dunia
yang terkemuka dizamannya hingga saat ini -
Socrates si ahli filsuf. Demikian dalam cerita kehidupannya yang silam
telah menjadi sebuah cerita yang turun-temurun akan dikenal oleh anak cucu kita
melalui sebuah buku yang mengisahkan tentang kehidupan dan perjalanan panjang
yang dilaluinya demi mencapai apa yang diketahui dan didambakan setiap orang
darinya melalui buah pemikirannya yang tak tertandingi.
Demikian
suatu ketika Sokrates menceritakan kepada Phaedrus kisah dari nenek moyang
mereka. Dahulu kala di Naucratis, Mesir, pernah menetap seorang Dewa penemu
bernama Theuth yang menemukan angka, perhitungan, geometri, astronomi, dan
tulisan. Theuth datang kepada Thamus, Raja Dewa Mesir (Ammos) dan meminta restu
untuk menyebarkan penemuannya kepada masyarakat Mesir. Ketika Thamus melihat
tulisan, Theuth berkata bahwa “ Cabang pembelajaran ini, tuanku akan membuat
orang Mesir lebih bijak dan meningkatkan
daya ingat. Saya menemukan Pharmakon untuk daya ingat dan kebijakan”.
Jawaban
Thamus akan hal itu adalah “ Penemu seni bukanlah orang terbaik yang berhak
menentukan apakah itu merugikan/ menguntungkan. Anda sebagai Bapak tulisan
sangat mencintai keturunannya sendiri – namun mereka justru sangat bertentangan
dengan yang akan terjadi. Siapapun yang menulis akan berhenti melatih ingatan
dan menjadi pelupa. Mereka lebih mengandalkan tanda-tanda luar tulisan daripada
kemampuan diri mengingat sesuatu. Anda menemukan Pharmakon untuk
mengingat-ingat, bukan ingatan sejati.
Seperti kebijakan, Anda sekedar menawarkan kehadiran kepada murid-murid bukan
kenyataan. Bisa jadi mereka tampak berpengetahuan, padahal sebetulnya bodoh.
Dan akan selamanya begitu, mereka menyandang kecongkakan, kebajikan, alih-alih
menjadi arif”.
Demikian
mendengar penuturan Socrates tersebut, Phaedrus merasa pernah mendengar Theban
menyatakan hal yang serupa. Demikian Socrates menjawab, “ Seperti lukisan
wajah, tulisan tidak berkehidupan. Tak dapat menjawab balik apabila akalmu
mempertanyakannya. Tulisan dapat dilarang dimana pun, di antara mereka yang
paham atau bahkan tidak perduli dengan hal itu. Aku tidak tahu siapa yang
berhak bicara. Pada saat semena-mena disalahgunakan, penulis membutuhkan ayah
yang mampu mendukungnya sebab dia tidak mampu menolong ataupun membela diri”.
Di
sisi lain, Derrida menentang filsafat Barat yang beranggapan bahwa tulisan
adalah terkutuk, menghancurkan ingatan sejati, dan tidak murni karena dinodai
oleh suatu mediasi. Berbeda dengan ucapan (lisan) yang dianggap mewakili
langsung maksud dan emosi pembicara. Oleh karena itu, Derrida pun mencoba
menyisipkan racun kedalam filsafat Barat, yaitu keraguan dengan sejuta
pertanyaan tentang logika biner dalam cara berpikir filsafat Barat. Dalam
oposisi Biner, apa yang disebutkan pertama kali adalah hal yang lebih unggul
daripada yang berikutnya; seperti jiwa/tubuh, Barat/Timur, laki-laki/perempuan,
ucapan/tulisan. Namun baginya dia berpendapat bahwa tulisan memiliki
karakteristik yang tidak bisa diputuskan begitu saja dengan oposisi biner. Tak
lama kemudian dia menghadirkan kritik tentang metafisika sebagai metafisika
kehadiran (metaphysics of presence). Namun yang menjadi analisis kritis adalah,
Benarkah ucapan lebih tinggi kedudukannya daripada tulisan? Benarkah tulisan
adalah penghancur ingatan sejati? Bukankah peradaban dan sejarah pun ditandai
dengan munculnya tulisan?
Namun
di sisi lain berbeda dengan pandangan yang menyatakan bahwa “ Untuk menaklukan
sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku,
kebudayaan dan sejarahnya lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku, membangun
kebudayaan baru dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan
mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya”. Hal ini serupa dengan sebuah
film yaitu “Stargle”, di dalam film ini dikisahkan tentang sebuah gerbang yang
dapat mengantarkan manusia ke peradaban lain di planet lain. Poin utama yang
patut digaris bawahi dalam cerita ini adalah kisah tentang para tokoh utamanya
yang sampai pada sebuah planet yang peradabannya menyerupai bumi dimasa lalu,
dan mereka menyembah dewa-dewa yang dipercayai disana, salah satunya adalah
Dewa Ra (Dewa Matahari Mesir Kuno). Ra memperbudak mereka dan melarang mereka
untuk belajar menulis dan membaca agar mereka tidak ingat akan sejarah mereka
yang sebenarnya. Demikian film “Stargle” tersebut sama dengan kisah yang
dituturkan dalam novel “KAFKA” tentang sebuah kota tanpa ingatan.
Pada
dasarnya tulisan menjadi suatu pengait antara masa lalu dengan masa kini, juga
masa kini dengan masa depan. Namun sama halnya dalam novel Kafka “Sebuah Kota
Tanpa Ingatan” itu, kota itu bahkan lupa pada namanya sendiri. Waktu dalam
novel kafka adalah waktu pada saat sebuah peradaban kehilangan hubungan dengan
keberadaban. Demikian manusia senantiasa lupa akan sejarah dan manusia tidak
pernah belajar dari sejarah. Tapi ingatlah seperti apa istilah Soekarno “Jas
Merah”, yang artinya Jangan Melupakan Sejarah.
Banyak
pendapat menyatakan bahwa menulis adalah hal yang paling membosankan.
Orang-orang juga bertanya untuk apa menghabiskan hidup dengan menulis. Namun
dengan menulis kita dapat memberitahukan orang-orang untuk apa kita hidup. Jika
sebuah pertanyaan dilontarkan misalkan apa perbedaan seniman dan penulis? Maka
jawabannya bahwa seniman tetap seniman dengan menyuarakan apa yang terjadi
melalui karyanya, sedang penulis merupakan seniman yang mengapresiasikan suara
hatinya melalui media seni dan representasi yang digunakannya.
Pelukis
menggunakan cat untuk berkarya, sedang penulis menggunakan kata-kata yang
diolah sedemikian rupa secara apik sehingga bisa mempengaruhi pembaca,
merasakannya secara sadar (concious) dan tidak sadar (unconcious), membawa
pembaca kealam pikir penulis dalam menafsirkan dunia dari kerangka tafsir sang
penulis itu sendiri.
Tulisan
adalah “Anak Kandung” penulisnya yang mempresentasikan pandangan hidup,
perasaan atau tabiat baik/buruk si penulis. Namun pengarang akan mati setelah
karyanya selesai, lalu pembaca yang membaca dengan pra-pemahamannya sendiri,
dan dengan pengalaman hidupnya sendiri.
Satu
pertanyaan yang harus segera dijawab adalah apakah sebuah tulisan dapat
mengubah dunia? Dengan membaca, tulisan akan diketahui pembaca, individu akan
mendapat sesuatu dari bacaannya. Idealnya adalah pencerahan. Agar hal itu
tampak nyata maka diharapkan adanya kesadaran individu dengan melakukan
pembelajaran yang salah satunya adalah “MEMBACA”. Melalui membaca tulisan, kita
akan mendapat pengetahuan akan sebuah warisan dari suatu zaman, rekaman
sejarah, sebuah ingatan tandingan, yang akan terus dibaca dan ditafsirkan oleh
generasi berikutnya. Tak ubahnya seperti menulis di atas batu. Demikian kisah
seorang Socrates yang kita kenal atau ketahui merupakan buah/hasil melalui
proses pembelajaran yaitu membaca tulisan tentangnya. Namun, tanpa membaca kita
akan hidup tanpa ingatan, tanpa peradaban, tanpa sejarah dan tanpa tafsiran.
Kehidupan akan sama dengan dunia tanpa ingatan.
No comments
Post a Comment