Setiap kali wisatawan yang saya tanyakan seputar
Yogyakarta, satu kalimat yang selalu terucap, yaitu “kota yang ngangennin banget”.
Namun buat saya yang pertama kali berkunjung ke
kota yang kental dengan budaya Jawa Keraton ini adalah ketenangannya. Ahh, Ijinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi (Kla
Project ~Yogyakarta).
Bulan Maret tepat liburan panjang, jejalan di mulai
lagi. Jalan kali ini sedikit mengharu biru. Sebagai pejalan yang nggak pengen
hamburin uang lebih untuk jalan, maka trip
backpacker kembali diluncurkan. Prinsip ‘jejalan hemat’ tetap dipegang, dan
hingga pada akhirnya kami harus sudah pesan tiket kereta satu bulan sebelumnya.
Jakarta (Senen)- Semarang (Tawang) – Yogyakarta – Solo – Bandung. Quite long right? It’s called a little bit off the beaten path (nyengir).
Naik kereta api kelas bisnis sih terbilang
nyamanlah. Tapi jangan harap dengan kereta api kelas ekonomi, sesuatu yang tragis akan terjadi dengan tulang-tulang kamu guys. *just info
Nah, tibalah perjalanan ( 2 cowo + 4 cewe) ini
dimulai. Saya masih ingat lama perjalanan dari Senen – Tawang itu mulai dari
pukul 08.00 malam (Jakarta) – 4.00 subuh (Semarang). Dari sana, kami naik bus
tujuan Yogyakarta yang namanya lumayan kontroversial buat saya dan salah satu
teman, yakni bus bertuliskan ‘sumber waras’ – bus yang aneh ya.
Dalam perjalanan Semarang – Yogyakarta, kita bakal
lewatin kota Magelang yang nggak asing dengan kota dimana bangunan sejarah Candi
Borobudur berada. Jarak dari kota Magelang ke dalam candi memakan waktu kira”
1 jam. Wisata yang satu ini jadi salah satu favorit para wisatawan, hal ini
udah jadi rahasia umum guys. Nah, perjalanan ke Yogyakarta memakan waktu 4 jam. Setiba disana, kita langsung ke Parangtritis.
Satu hal yang paling membuat saya terkesan pertama
kali tiba di Yogyakarta adalah unsur seninya yang sangat kuat. Ada saja ukiran-ukiran
dan patung-patung yang erat hubungannya dengan unsur-unsur budaya kerajaan atau Keraton
di sepanjang jalan yang kita lalui. Selain itu, kesederhanaan dan keramahan
masyarakatnya menjadi pemandangan yang patut disyukuri.
Sayangnya, Pantai Parangtritis yang terletak sekitar
27 km di bagian Selatan Kota Jogja ini tak berhasil membuat saya terkesima atau
takjub. Suasana dan pemandangannya terbilang biasa saja. Hanya bedanya terletak
pada ombaknya yang ganas dan kerap disebut-sebut misterius. Hampir tak ditemukan
aktifitas nelayan atau olahraga berselancar di sana.
Setelah puas bercengkrama dan menikmati semilir
angin sorenya, kami pun beranjak menuju kota berencana menginap semalam,
mencicipi kebiasaan malam di pinggiran jalan Malioboro - salah satu tujuan besar
wisatawan. Di sana, saya kembali takjub dengan banyaknya angkringan unik dan
seru, salah satu budaya Indonesia yang kudu dilestariin, yakni makan dilesehan.
Malam itu kami makan lesehan dipinggiran jalan dengan penerangan yang seadanya
namun terasa sangat menyenangkan. Suasana disekelilingnya ramai sekali,
rembulan bahkan begitu gemerlapnya. Semalam suntuk Yogyakarta dengan beragam
jajanannya, kesibukannya dan budayanya pun jadi milik kami.
Jogja
itu disebut kota serba murah. Bayangkan, angkringan yang disebut juga nasi
kucing saja hanya Rp5 ribu paling banter, dan kita udah kenyang banget. Selain
itu, ada yang lebih unik lagi yakni menu 'KOPI JOSS' nya. Kopi ini disedu dengan air
mendidih bersama gula dan kopi bubuk, lalu ditambahkan dengan arang panas. Saat
arang panas dicelupkan, maka terdengarlah bunyi josss pada kopi. Rasanya yang
khas dan panas akan menemani Anda menikmati kota Yogyakarta di malam hari. Kopi
Joss sudah jadi minuman khas angkringan di Jogja. Kopi ini dikenal berkhasiat menghilangkan penyakit seperti kembung, mules yang telah dipercaya dari masa ke masa. Hmm, minuman aneh yang belum pernah saya jumpai dimana pun kecuali di Jogja.
Malioboro,
bagian Yogyakarta yang berbatasan dengan Tugu dan Stasiun Kereta Api Jogja tampak
sangat sumpek oleh wisawatan dari berbagai kota. Satu dengan yang lainnya sibuk
memasuki satu toko ke toko lain yang berjejer sepanjang Malioboro. Para wisatawan kelewat sibuk di sana sini memilih buah tangan untuk dibawa pulang. Yang pasti jangan harapkan bila tempat yang satu ini menawarkan Anda suasana tenang dan
teduh.
Dan
dipenghabisan berjejalan di Yogyakarta kali ini ditutup dengan trend selfie masa kini.
Prambanan, Keraton dan beragam wisata lain yang masih tertunda dikunjungi saat
itu, bisa saja jadi alasan bagi saya untuk kembali lagi di lain waktu.
-------------------------Lori Mora----------------------------