Sepatu ku Membawa ku Memandang Indonesia. Atas, Bawah, Laut & Darat, Ia Kaya!

HAKIKAT TULISAN: THE WORLD WITHOUT MEMORY (DUNIA TANPA INGATAN)


           Proses kelahiran kembali sejumlah tulisan adalah proses dimana kita mengumpulkan kepingan-kepingan cerita yang terserak diwaktu yang silam. Demikian disaat kita kembali mengingat kisah seorang fisafat dunia yang terkemuka dizamannya hingga saat ini -  Socrates si ahli filsuf. Demikian dalam cerita kehidupannya yang silam telah menjadi sebuah cerita yang turun-temurun akan dikenal oleh anak cucu kita melalui sebuah buku yang mengisahkan tentang kehidupan dan perjalanan panjang yang dilaluinya demi mencapai apa yang diketahui dan didambakan setiap orang darinya melalui buah pemikirannya yang tak tertandingi.
            Demikian suatu ketika Sokrates menceritakan kepada Phaedrus kisah dari nenek moyang mereka. Dahulu kala di Naucratis, Mesir, pernah menetap seorang Dewa penemu bernama Theuth yang menemukan angka, perhitungan, geometri, astronomi, dan tulisan. Theuth datang kepada Thamus, Raja Dewa Mesir (Ammos) dan meminta restu untuk menyebarkan penemuannya kepada masyarakat Mesir. Ketika Thamus melihat tulisan, Theuth berkata bahwa “ Cabang pembelajaran ini, tuanku akan membuat orang Mesir  lebih bijak dan meningkatkan daya ingat. Saya menemukan Pharmakon untuk daya ingat dan kebijakan”.
            Jawaban Thamus akan hal itu adalah “ Penemu seni bukanlah orang terbaik yang berhak menentukan apakah itu merugikan/ menguntungkan. Anda sebagai Bapak tulisan sangat mencintai keturunannya sendiri – namun mereka justru sangat bertentangan dengan yang akan terjadi. Siapapun yang menulis akan berhenti melatih ingatan dan menjadi pelupa. Mereka lebih mengandalkan tanda-tanda luar tulisan daripada kemampuan diri mengingat sesuatu. Anda menemukan Pharmakon untuk mengingat-ingat,  bukan ingatan sejati. Seperti kebijakan, Anda sekedar menawarkan kehadiran kepada murid-murid bukan kenyataan. Bisa jadi mereka tampak berpengetahuan, padahal sebetulnya bodoh. Dan akan selamanya begitu, mereka menyandang kecongkakan, kebajikan, alih-alih menjadi arif”.
            Demikian mendengar penuturan Socrates tersebut, Phaedrus merasa pernah mendengar Theban menyatakan hal yang serupa. Demikian Socrates menjawab, “ Seperti lukisan wajah, tulisan tidak berkehidupan. Tak dapat menjawab balik apabila akalmu mempertanyakannya. Tulisan dapat dilarang dimana pun, di antara mereka yang paham atau bahkan tidak perduli dengan hal itu. Aku tidak tahu siapa yang berhak bicara. Pada saat semena-mena disalahgunakan, penulis membutuhkan ayah yang mampu mendukungnya sebab dia tidak mampu menolong ataupun membela diri”.
            Di sisi lain, Derrida menentang filsafat Barat yang beranggapan bahwa tulisan adalah terkutuk, menghancurkan ingatan sejati, dan tidak murni karena dinodai oleh suatu mediasi. Berbeda dengan ucapan (lisan) yang dianggap mewakili langsung maksud dan emosi pembicara. Oleh karena itu, Derrida pun mencoba menyisipkan racun kedalam filsafat Barat, yaitu keraguan dengan sejuta pertanyaan tentang logika biner dalam cara berpikir filsafat Barat. Dalam oposisi Biner, apa yang disebutkan pertama kali adalah hal yang lebih unggul daripada yang berikutnya; seperti jiwa/tubuh, Barat/Timur, laki-laki/perempuan, ucapan/tulisan. Namun baginya dia berpendapat bahwa tulisan memiliki karakteristik yang tidak bisa diputuskan begitu saja dengan oposisi biner. Tak lama kemudian dia menghadirkan kritik tentang metafisika sebagai metafisika kehadiran (metaphysics of presence). Namun yang menjadi analisis kritis adalah, Benarkah ucapan lebih tinggi kedudukannya daripada tulisan? Benarkah tulisan adalah penghancur ingatan sejati? Bukankah peradaban dan sejarah pun ditandai dengan munculnya tulisan?
            Namun di sisi lain berbeda dengan pandangan yang menyatakan bahwa “ Untuk menaklukan sebuah masyarakat adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan dan sejarahnya lalu perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku, membangun kebudayaan baru dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya”. Hal ini serupa dengan sebuah film yaitu “Stargle”, di dalam film ini dikisahkan tentang sebuah gerbang yang dapat mengantarkan manusia ke peradaban lain di planet lain. Poin utama yang patut digaris bawahi dalam cerita ini adalah kisah tentang para tokoh utamanya yang sampai pada sebuah planet yang peradabannya menyerupai bumi dimasa lalu, dan mereka menyembah dewa-dewa yang dipercayai disana, salah satunya adalah Dewa Ra (Dewa Matahari Mesir Kuno). Ra memperbudak mereka dan melarang mereka untuk belajar menulis dan membaca agar mereka tidak ingat akan sejarah mereka yang sebenarnya. Demikian film “Stargle” tersebut sama dengan kisah yang dituturkan dalam novel “KAFKA” tentang sebuah kota tanpa ingatan.
            Pada dasarnya tulisan menjadi suatu pengait antara masa lalu dengan masa kini, juga masa kini dengan masa depan. Namun sama halnya dalam novel Kafka “Sebuah Kota Tanpa Ingatan” itu, kota itu bahkan lupa pada namanya sendiri. Waktu dalam novel kafka adalah waktu pada saat sebuah peradaban kehilangan hubungan dengan keberadaban. Demikian manusia senantiasa lupa akan sejarah dan manusia tidak pernah belajar dari sejarah. Tapi ingatlah seperti apa istilah Soekarno “Jas Merah”, yang artinya Jangan Melupakan Sejarah.
            Banyak pendapat menyatakan bahwa menulis adalah hal yang paling membosankan. Orang-orang juga bertanya untuk apa menghabiskan hidup dengan menulis. Namun dengan menulis kita dapat memberitahukan orang-orang untuk apa kita hidup. Jika sebuah pertanyaan dilontarkan misalkan apa perbedaan seniman dan penulis? Maka jawabannya bahwa seniman tetap seniman dengan menyuarakan apa yang terjadi melalui karyanya, sedang penulis merupakan seniman yang mengapresiasikan suara hatinya melalui media seni dan representasi yang digunakannya.
            Pelukis menggunakan cat untuk berkarya, sedang penulis menggunakan kata-kata yang diolah sedemikian rupa secara apik sehingga bisa mempengaruhi pembaca, merasakannya secara sadar (concious) dan tidak sadar (unconcious), membawa pembaca kealam pikir penulis dalam menafsirkan dunia dari kerangka tafsir sang penulis itu sendiri.
            Tulisan adalah “Anak Kandung” penulisnya yang mempresentasikan pandangan hidup, perasaan atau tabiat baik/buruk si penulis. Namun pengarang akan mati setelah karyanya selesai, lalu pembaca yang membaca dengan pra-pemahamannya sendiri, dan dengan pengalaman hidupnya sendiri.
            Satu pertanyaan yang harus segera dijawab adalah apakah sebuah tulisan dapat mengubah dunia? Dengan membaca, tulisan akan diketahui pembaca, individu akan mendapat sesuatu dari bacaannya. Idealnya adalah pencerahan. Agar hal itu tampak nyata maka diharapkan adanya kesadaran individu dengan melakukan pembelajaran yang salah satunya adalah “MEMBACA”. Melalui membaca tulisan, kita akan mendapat pengetahuan akan sebuah warisan dari suatu zaman, rekaman sejarah, sebuah ingatan tandingan, yang akan terus dibaca dan ditafsirkan oleh generasi berikutnya. Tak ubahnya seperti menulis di atas batu. Demikian kisah seorang Socrates yang kita kenal atau ketahui merupakan buah/hasil melalui proses pembelajaran yaitu membaca tulisan tentangnya. Namun, tanpa membaca kita akan hidup tanpa ingatan, tanpa peradaban, tanpa sejarah dan tanpa tafsiran. Kehidupan akan sama dengan dunia tanpa ingatan.
Powered by Blogger.